Kamis, 10 Juni 2010

Karunia Hidayah


Oleh K.H. Abdullah Gymnastiar

Saudaraku, siapapun di dunia ini hanya akan menjaga dengan sungguh-sungguh sesuatu yang dianggapnya berharga dan membuang sesuatu yang dianggapnya tidak berharga. Semakin bernilai dan semakin berharga suatu benda, maka akan lebih habis-habisan pula dijaganya.

Ada yang sibuk menjaga hartanya karena dia menganggap hartanyalah yang paling bernilai. Ada yang sibuk menjaga wajahnya agar awet muda, karena awet muda itulah yang dianggapnya paling bernilai. Ada juga yang mati-matian menjaga kedudukan dan jabatannya, karena kedudukan dan jabatan itulah yang dianggap membuatnya berharga.

Tapi ada pula orang yang mati-matian menjaga hidayah dan taufik dari-Nya karena dia yakin bahwa hidup tidak akan selamat mencapai akhirat kecuali dengan hidayah dan taufik dari ALLOH yang Maha Agung. Inilah sebenarnya harta benda paling mahal yang perlu kita jaga mati-matian. Betapa nikmat iman yang bersemayam di dalam kalbu melampaui apapun yang bernilai di dunia ini.

Karenanya, sudah sepantasnya dalam mencari apapun di dunia ini, kita tetap dalam rambu-rambu supaya hidayah itu tidak hilang. Misal, ketika mencari uang untuk nafkah keluarga, kita sibuk dengan berkuah peluh bermandi keringat mencarinya, tapi tetap berupaya dengan sekuat tenaga agar dalam mencari uang ini hidayah sebagai sebuah barang berharga tidak hilang dan taufik tidak sampai sirna.

Begitupula ketika menuntut ilmu, kita kejar ilmu setinggi-tingginya tetapi tetap dalam rambu-rambu supaya hidayah tidak sampai sirna. Bahkan seharusnya cara mencari nafkah, mencari ilmu, atau mencari dunia bisa lebih mendekatkan dengan sumber hidayah dari ALLOH SWT.

Ada sebuah doa yang ALLOH SWT ajarkan kepada kita melalui firman-Nya, “Robbanaa, laa tuziquluu banaa ba’da ijhhadaitana wahablana milladunkarahmatan innaka antal wahhaab…” (Q.S. Ali Imran [3]: 8). (Ya Tuhan kami, jangan jadikan hati ini condong kepada kesesatan sesudah engkau beri petunjuk, dan karuniakan kepada kami rahmat dari sisimu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi Karunia).

Demikianlah ALLOH Azza wa Jalla, Dzat Maha Pemberi Karunia Hidayah, mengajarkan kepada kita agar senantiasa bermohon kepada-Nya sehingga selalu tertuntun dengan cahaya hidayah dari-Nya. Tidak bisa tidak, doa inilah yang harus senantiasa kita panjatkan di malam-malam hening kita, di setiap getar-getar doa yang meluncur dari bibir kita.

***

Suatu waktu ada seorang wanita yang belum beberapa lama masuk Islam (muallaf). Dan ternyata keluarganya tidak bisa menerima kenyataan ini, sehingga ibunya mengusirnya dari rumah. Kejadiannya ketika menjelang jam lima sore telepon berdering, suara diujung sana bicara dengan terbata-bata, “Aa, aa tolong a tolong…!” Belum selesai bicara hubungan telepon terputus. Dari nadanya kelihatan darurat, sehingga jelas-jelas si penelpon sedang dalam kondisi membutuhkan bantuan. Sayangnya tidak diketahui dimana menelponnya? Keadaannya bagaimana? Cuma yang diketahui pasti adalah ALLOH Maha Melihat, Maha Menyaksikan segala kejadian, dan Maha Kokoh dalam melindungi siapapun. Tidak akan terjadi musibah, “illabiidznillah” tanpa ijin ALLOH, dan tidak akan teraniaya kecuali dengan ijin ALLOH pula.

Usai hubungan telepon terputus, saya berpikir apa yang bisa dilakukan!? Karena yang terbayang di benak saat itu adalah justru si anak dianiaya, teleponnya direbut atau kabelnya diputuskan. Terbayang pula andai si anak ini dipaksa kembali ke agama semula oleh orang tuanya atau minimal dianiaya. Tapi sejenak kemudian ingat pula akan Kemahakuasaan ALLOH bahwa hanya dengan karunia-Nya saja hidayah bisa sampai kepada si anak itu. Betapapun orang memaksa untuk melepas hidayah keyakinan di jalan-Nya, tapi kalau ALLOH Azza wa Jalla, Dzat yang Mahakuasa telah menghunjamkan dalam-dalam hidayah itu di kalbunya, kita lihat bagaimana Bilal bin Rabbah, sahabat Rasulullah SAW yang mulia, dijemur diterik matahari, dibawahnya beralas pasir membara, badan pun dihimpit batu yang berat, tapi bibirnya yang mulia tetap mengucapkan, “ALLOH, ALLOH, ALLOH”.

Demikianlah jikalau ALLOH telah menghujamkan karunia hidayahnya, tidak ada seorangpun yang bisa melepaskannya. Begitupun dengan si anak dalam kejadian ini, setelah teleponnya diputus oleh ibunya, ternyata benar ia dianiaya, dijambak, dan dirobek-robek jilbabnya. Hanya kemudian dengan ijin ALLOH, dia dapat kembali menutup auratnya dan dengan hati pilu si anak pun ikut bersama bibinya. Hanya ALLOH-lah yang melepaskan dari setiap kesempitan.

Mudah-mudahan kejadian diatas dapat menambah keyakinan akan kokohnya perlindungan ALLOH Azza wa Jalla. Betapapun tidak ada yang menolong, yakinlah bahwa ALLOH-lah satu-satunya penolong. Begitupun ketika ada yang menganiaya, maka si penganiaya pun adalah makhluk dalam genggaman ALLOH. Tidak ada satupun ayunan dan pukulan tangan, atau bahkan tendangan kakinya, kecuali tenaganya karunia dari ALLOH. Tidak ada satupun darah yang menetes, kecuali dengan ijin ALLOH.

Karenanya mudah-mudahan saja apa yang menimpa si anak dalam peristiwa diatas adalah salah satu cara bagaimana ALLOH menanamkan keyakinan kepadanya. Karenanya walaupun tidak ada yang menolong, yakinlah bahwa ALLOH-lah yang Mahakuasa memberikan pertolongan. Memang, terkadang kita ditingkatkan keyakinan, dinaikan peringkat kedudukan disisi ALLOH, salah satunya dengan diuji dengan bala dan kesempitan terlebih dulu.

***

ALLOH SWT dalam hal ini berfirman, “Dan orang yang dipimpin ALLOH, maka tiadalah orang yang akan menyesatkannya” (Q.S. Az Zumar [39]:37).

“Dan siapa yang disesatkan oleh ALLOH, maka tidak ada yang dapat menujukinya” (Q.S. Ar Ra’du [13]:33).

“Siapa yang diberi petunjuk (hidayah) oleh ALLOH maka ialah yang mendapat petunjuk hidayah, dan siapa yang disesatkan oleh ALLOH, maka tidak akan engkau dapatkan pelindung atau pemimpin untuknya” (Q.S. .

“Sesungguhnya ALLOH membiarkan sesat siapa yang dikehendaki-Nya dan dipimpin-Nya siapa yang dikehendaki-Nya.” (Q.S. Al Fathir [35]: 8).

Imam Ibnu Athoillah dalam kitabnya yang terkenal Al Hikam memaparkan, “Nur (cahaya-cahaya) iman, keyakinan, dan zikir adalah kendaraan yang dapat mengantarkan hati manusia ke hadirat ALLOH serta menerima segala rahasia daripada-Nya.

Nur (cahaya terang) itu sebagai tentara yang membantu hati, sebagaimana gelap itu tentara yang membantu hawa nafsu. Maka apabila ALLOH akan menolong seorang hamba-Nya, dibantu dengan tentara nur Illahi dan dihentikan bantuan kegelapan dan kepalsuan”

Nur cahaya terang berupa tauhiid, iman dan keyakinan itu sebagai tentara pembela pembantu hati, sebaliknya kegelapan, syirik, dan ragu itu sebagai tentara pembantu hawa nafsu, sedang perang yang terjadi antara keduanya tidak kunjung berhenti, dan selalu menang dan kalah.

Lebih lanjut beliau berujar, “Nur itulah yang menerangi (membuka) dan bashirah (matahati) itulah yang menentukan hukum, dan hati yang melaksanakan atau meninggalkan nur itulah yang menerangi baik dan buruk, lalu dengan matahatinya ditetapkan hukum, dan setelah itu maka matahatinya yang melaksanakan atau menggagalkannya.” Semoga ALLOH Azza wa Jalla mengaruniakan kepada kita penuntun yang membawa cahaya hidayah sehingga menjadi terang jalan hidup ini, subhanallah.(*)

kesenian yang berhubungan dengan Islam

SINTREN

Sintren atau Lais menurut dugaan sudah ada sejak zaman animisme dan dinamisme, dimana pada zaman itu digunakan sebagai salah satu alat untuk berkomunikasi dengan arwah para leluhur.

Pada zaman perkembangan agama Islam di Cirebon juga digunakan sebagai media dakwah dalam menyebarkan agama Islam, dimana sangat banyak pesan-pesan terselubung yang mencerminkan falsafah agama Islam.

Waditra yang digunakan pada Sintren adalah buyung tanah, bumbung/ruas bambu, kendi tanah dan kecrek. Para pelaku adalah seorang dalang sintren atau lais bodor, wiyaga 4-7 orang, juru dupa, juru kawih sebanyak 12 orang.

WAYANG BABAD

Wayang babad Cirebon diciptakan oleh Ki Dalang Askadi Sastra Suganda dari Cangkring Plered Cirebon.

Cerita yang diangkat biasanya sejarah, legenda, cerita babad ataupun dongeng seperti golek papak Cirebon.

Waditra yang digunakan adalah gamelan salendro dan pelog, genjring santri/rebanan, solawatan,lagu-lagu kemandu lakon

GEMBYUNG

Gembyung pada dasarnya sama dengan Kesenian Brai, namun waditra yang digunakan lebih maju dari pada brai.

BEROKAN

Seni Berokan atau Barongan adalah jenis kegiatan yang menggunakan alat utama berokan atau barongan yaitu suatu bentuk tituan kepada binatang singa dan tiruan badan Singa Duga yang dimainkan oleh seorang dalang yang menyusup ke dalam tiruan tubuh raksasa sambil mengoceh dengan meniup terompet yang disimpan di dalam mulut.

Fungsi kesenian ini adalah menyebarkan agama Islam di Cirebon tempo dulu. Waditra yang digunakan adalah terbang, gong, bambu, terompet, gendang dsb.

BRAI

Brai berasal dari kata birahi atau kasmaran yaitu cinta kepada Allah. Karena itu bernafaskan Islam dan berkembang sejak zaman Sunan Gunung Jati dan digunakan sebagai sarana pengembangan ajaran agama Islam. Waditra yang digunakan adalah 2 buah terbang dan gendang.

Busana yang digunakan adalah busana muslim lengkap dengan jilbabnya bagi pemain wanita dan bagi pemain pria baju takwa, kopiah dan sarung.

QOSIDAH

Kesenian Qosidah tumbuh dan berkembang di Cirebon hampir setiap wilayah terutama di mushola atau masjid, pesantren, di lembaga-lembaga Islam dsb.

Kesenian Qosidah bernafaskan Islam untuk mengembangkan agama Islam. Waditra yang digunakan adalah genjring berbagai ukuran, gendang, kecrek, gitar dsb.

Busana yang digunakan adalah busana muslim lengkap dengan jilbabnya bagi pemain wanita dan bagi pemain pria menggunakan baju taqwa, kopiah dan sarung.

Media Dakwah di Dunia Maya



moslemDalam melaksanakan dakwah secara online di dunia maya ini ada beberapa media yang bisa kita manfaatkan

Dakwah melalui Internet.
Banyak orang mengatakan bahwa jaringan internet itu lebih luas daripada dunia ini. Dan itu memang benar adanya. Oleh sebab itu, banyak orang yang memanfaatkan jasa internet untuk mencari informasi dari berbagai belahan dunia. Begitu juga dengan dakwah. Dimana pun kita berada kita tetap bisa mengakses situs dakwah yang ada di internet.

Begitu pun apabila kita ingin berdakwah melalui internet, kita bisa membuat blog kecil-kecilan kemudian mengisinya dengan materi-materi agama Islam, persoalan sekitar agama Islam, Fiqh Islam, sampai pembahasan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Juga dengan beberapa kisah teladan. Contoh situs dakwah yang ada di internet adalah www.dakwahonline.com

Dakwah melalui Handphone
Memberikan ceramah-ceramah agama Islam atau yang biasa disebut dakwah kini juga semakin marak dilaksanakan melalui handphone. Yaitu dengan mengirimkan sms-sms yang berisi pernak-pernik ajaran agama Islam. Walaupun cara seperti ini semakin digalakkan, banyak orang yang tidak menyukai cara seperti ini. Hal ini dikarenakan biayanya cukup mahal yaitu jauh diatas biaya sms biasa. Dan apabila kita ingin ikut menyumbangkan beberapa tausyiah atau ilmu-ilmu keagamaan juga cukup sulit. Malah hampir dikatakan tidak bisa. Karena kita hanya bisa menjadi member atau anggota saja dan mendapatkan sms tausyiah saja, tanpa bisa menyumbang. Meskipun demikian, tidak sedikit juga orang yang menggandrungi sms dakwah melalui handphone yang juga bisa dikatakan system dakwah secara online.

Pengajian secara Online
Ada lagi media yang saat ini banyak dimanfaatkan kaum muslim di Indonesia untuk berdakwah, yaitu pengajian secara online. Disarankan pengajian online ini diikuti secara berkelompok, antara 10 sampai 12 orang, tidak perseorangan. Karena meskipun tidak ada larangan bagi perseorangan untuk ikut, akan lebih banyak manfaat yang bisa didapatkan dengan cara berkelompok ini.

Untuk bisa mengikuti Pengajian secara Online dengan baik setiap kelompok/orang minimum harus mempunyai komputer minimum Pentium 3, yang dilengkapi dengan sound system yang jelas, dan koneksi internet yang cukup cepat untuk mendengarkan Streaming Audio dengan Windows Media Player, dan Yahoo Messenger pada saat yang sama.

Eksistensi Dakwah dalam Islam


Urgensi dakwah dalam Islam dapat ditinjau dari beberapa sudut, diantaranya dari sejarah awal penyebaran Islam oleh Nabi Muhammad Saw pembawa risalah Allah. Secara global dakwah Islamiyah pada zaman Rasul dapat dikategorikan kepada empat tahapan : pertama dakwah secara sembunyi-sembunyi. Dakwah ini dilaksanakan Nabi selama tiga tahun. Kedua dakwah secara terang-terangan hanya dengan lisan saja. Dakwah ini berlangsung sampai hijrah Rasulullah. Ketiga dakwah secara terang-terangan sekaligus memerangi kaum musyrik yang berlaku zalim dan menantang untuk berperang. Fase ini berlangsung sampai perjanjian perdamaian hudaibiyah. Keempat dakwah secara terang-terangan sekaligus memerangi setiap orang yang menolak untuk masuk Islam dan mencoba menghalau aktifitas dakwah dan proses ini berlanjut sampai tegaknya syari’at dan timbulnya hukum jihad dalam Islam.

Pasca wafatnya Rasul tongkat estafet perjuangan beliau dalam menyebarkan risalah suci ini dilanjutkan oleh para sahabatnya seperti Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, kemudian oleh para Tabi’in dan tabi’at tabi’in dan seterusnya.

Jika aktifitas dakwah ditinjau dari sumber teks-teks syariat, maka akan ditemukan natijah yang sama atau bahkan akan semakin tampak kedudukunnya. Dalam al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang menyinggung hal ini. Diantaranya adalah ayat ” Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang benar dan mencegah dari yang munkar. Pada kesempatan lain Allah berfirman yang artinya :”Katakanlah, inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu kepada Allah dengan hujjah yang nyata.

Dalam sunnah Rasul banyak sekali hadis-hadis yang menjelaskan tentang ungensinya aktifitas dakwah. Seperti sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Hadits tersebut menjelaskan tentang tahapan-tahapan untuk melawan kemungkaran dan secara otomatis mengajak pelakunya untuk kembali kepada jalan yang lurus. Rasul pun pernah bersabda ”Sampaikan dari saya kepada mereka walaupun hanya satu ayat. Pada kesempatan lain beliau berkata” Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala sebagaimana pelakunya.

Ternyata julukan umat dakwah yang menghinggapi komunitas ummat Islam juga merupakan bukti kuat betapa telah mengakarnya aktifitas dakwah dalam doktrim Islam. Status hukum berdakwah bagi orang Islam itu sendiri merupakan kewajiban yang tidak boleh diabaikan. Akan tetapi setiap muslim hanya bertanggung jawab dalam hal dakwah sesuai dengan kedudukan dan kemampuannya. Apabila seorang muslim tidak mampu melaksanakan kewajiban dakwah dengan sendirinya, maka dia masih bisa berdakwah dengan menjadi donatur (baik berupa harta, tulisan maupun pandangan) kepada para akar dan ulama yang mampu melaksanakan misi suci ini.

B. Metode dan Sarana Berdakwah

Pada hakekatnya metode dan sarana untuk berdakwah sangat banyak dan luas atau bahkan mungkin tidak akan ada batasnya. Sebab semua yang bisa dikerjakan oleh manusia dan apa yang ada di muka bumi ini selagi tidak berbenturan dengan doktrin Islam, maka hal itu boleh dijadikan sebagai metode dan sarana untuk berdakwah.

Ketentuan di atas apabila dakwah itu sendiri tidak diartikan dengan makna yang sempit, seperti yang telah diyakini oleh sebagian kalangan komunitas muslim. Dengan menggembar-gemborkan dakwah harus secara formalitas, spt berpakaian gamis, kopiyah menempel di atas kepala, dengan jenggot menghelai panjang, tasbih menggayut ditangan kanan dan keliling berjalan kaki door to door.

Diantara metode tersebut seperti ngobrol-ngobrol di kafe, diskusi lintas agama, kunsultasi via alat komunikasi, mengadakan arisan bersama, rihlah ilmiyah dan lain sebagainya adalah termasuk metode berdakwah jika di dalamnya terdapatnya unsur ajakan kepada yang hak dan memperingatkan akan yang bathil. Begitu juga dunia kesenian, kebudayaan, pariwisata, entertainemen dengan segala pernak-perniknya, termasuk sarana untuk berdakwah, menurut pemahaman dakwah dalam makna yang luas sebagaimana dalam arti terminologi di atas.

C. Internet sebagai Sarana untuk berdakwah

Hadirnya akses internet merupakan media yang tidak bisa dihindari karena sudah menjadi peradaban baru dalam dunia informasi dan komunikasi tingkat global. Dengan adanya akses internet, maka sangat banyak informasi yang dapat dan layak diakses oleh masyarakat internasional, baik untuk kepentingan pribadi, pendidikan, bisnis dan lain-lain. Dimana munculnya jaringan internet dianggap sebagai sebuah revolusi dalam dunia komunikasi dan informasi.

Pada saat pertama kali internet diperkenalkan oleh para ilmuan barat, hampir dari kebanyakan tokoh Islam merasa curiga dan khawatir akan efek dari temuan teknologi tersebut. Namun pemikir Islam adala Syria Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi berkata : ternyata jaringan internet yang hampir menelan seluruh penjuru dunia adalah merupakan lahan luas yang disitu bertebaran podium-podium yang menyuarakan kepentingan Islam dengan memperkenalkan, mengajak (dakwah), membela dan memecahkan berbagai problema.

Dakwah melalui jaringan internet dinilai sangat efektif dan potensial dengan berbagai alasan, diantaranya pertama mampu menembus batas ruang dan waktu dalam sekejap dengan biaya dan energi yang relatif terjangkau, kedua pengguna jasa internet setiap tahunnya meningkat drastis, ini berarti berpengaruh pula pada jumlah penyerap misi dakwah. Ketiga para pakar dan ulama yang berada dibalik media dakwah via internet bisa lebih konsentrasi dalam menyikapi setiap wacana dan peristiwa yang menuntut status hukum syar’i, keempat dakwah melalui internet telah menjadi salah satu pilihan masyarakat. Berbagai situs mereka bebas memilih materi dakwah yang mereka sukai, dengan demikian pemaksaaan kehendak bisa dihindari, kelima cara penyampaian yang variatif telah membuat dakwah Islamiyah via internet bisa menjangkau segmen yang luas.

Perlu diingat bahwa keefektifan media ini juga sangat tergantung pad ummat Islam itu sendiri. Artinya kecakapan dan keikhlasan mereka dalam berdakwah via internet, serta kesungguhan mereka dalam meredam segala bentuk perpecahan dan perselisihan intern dalam ummat Islam sangat berpengaruh dalam sukses tidaknya misi suci ini. Untuk itulah diantara kewajiban para pemimpin aliran-aliran dalam Islam agar berusaha semaksimal mungkin untuk dapat merukunkan dan meminimalisisir titik perbedaan dan berusaha mengedepankan titik persamaan.

Terlepas dari pro dan kontra tentang penggunaan internet, setidaknya terdapat tiga motode dakwah melalui internet yaitu : pertama, dengan menggunakan fasilitas website seperti yang telah dilakukan oleh banyak organisasi Islam maupun tokoh-tokoh ulama. Berdakwah dengan menggunakan fasilitas ini dianggap lebih fleksibel dan luas jika dibandingkan dengan dua fasilitas berikutnya. Kedua, menggunakan fasilitas mailing list dengan mengajak diskusi keagamaan atau mengirim pesan-pesan moral kepada seluruh anggotanya. Dan ketiga, menggunakan fasilitas chatting ynag memungkinkan untuk berinteraksi secara langsung. Sebenarnya jika dibandingkan dengan dua fasilitas yang telah disebutkan di atas, fasilitas chatting lingkupnya lebih sempit sebab kegiatan dakwah melalui fasilitas ini hanya berlangsung pada saat pelaku dakwah sedang on line di internet saja.

D. Kelebihan Internet sebagai Media Dakwah

Dibandingkan media dakwah yang lain, Internet memiliki tiga keunggulan. Pertama karena sifatnya yang never turn-off (tidak pernah dimatikan) dan unlimited access (dapat diakses tanpa batas). Internet memberi keleluasaan kepada penggunanya untuk mengakses dalam kondisi dan situasi apapun.

Kedua, Internet merupakan tempat yang tepat bagi mereka yang ingin berdiskusi tentang pengalaman spiritual yang mungkin tidak rasional dan bila dibawa pada forum yang biasa akan mengurangi keterbukaannya. Para saintis biasanya merasa terbatasi oleh koridor ilmiah untuk mengekspresikan suatu pikiran atau pengalaman. Internet menyediakan ruang yang mengakomodasi keinginan mereka untuk merasa bebas membicarakan sesuatu yang di luar kelaziman ilmiah.

Ketiga, sebagian orang yang memiliki keterbatasan dalam komunikasi sering kali mendapat kesulitan guna mengatasi dahaga spiritual mereka. Padahal mereka ingin sekali berdiskusi dan mendapat bimbingan dari para ulama. Sementara itu ada sebagian orang yang ingin bertanya atau siap berdebat dengan para ulama untuk mencari kebenaran namun kondisi sering tidak memungkinkan. Internet hadir sebagai kawan (atau lawan) diskusi sekaligus pembimbing setia. Para ulama seharusnya dapat menggunakan internet sebagai media efektif untuk mencapai tujuan dakwahnya.

E. Internet Sebagai Media Dakwah Islami

"Sampaikanlah, walau hanya satu ayat," demikian ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW kepada umatnya suatu ketika. Ujaran yang sangat terkenal tersebut berintikan ajakan kepada para penganut agama Islam untuk senantiasa menyempatkan diri untuk berdakwah dan berbagi pengetahuan bagi sesama, kapanpun dan dimanapun. Sebelum Rasullulah wafat pada tahun 632 M, dakwah kerap dilakukan secara lisan. Baru pada tahun 644 M ketika Islam dipimpin oleh Uthman bin Affan, sahabat Rasulullah dan khalifah ketiga, dakwah mulai dilakukan secara tertulis. Pada saat itu Al-Qur'an sebagai kita suci Islam mulai dibukukan, digandakan dan disebarluaskan ke imperium-imperium Islam di penjuru dunia.

Semangat dakwah tersebut, meskipun hanya satu ayat, merupakan satu bentuk "tanggung jawab moril" yang sangat mengakar di kalangan umat Islam. Segala daya dan upaya untuk melakukan dakwah terus dilakukan, hingga kini.Setelah beratus tahun berselang sejak dakwah lisan dikumandangkan oleh Rasulullah, pada masa kini dakwah telah menggunakan medium bit, binary dan digital. Dakwah dalam bentuk tulisan di buku mendapatkan komplementernya berupa text dan hypertext di Internet.
Meskipun jumlahnya masih sangat sedikit, kalangan umat Islam di Indonesia yang menggunakan Internet sebagai media dakwah jumlahnya kian hari kian bertambah. Total jumlah pengguna Internet di Indonesia saja terhitung baru sekitar 2 persen saja dari total penduduk Indonesia. Tetapi semangat berdakwah "walau hanya satu ayat" tersebut tidak mengurungkan niat para pelaku dakwah digital.

Fenomena dakwah digital tersebut memang berkembang seiring dengan berkembangnya teknologi informasi (TI) di dunia. Internet komersial baru masuk ke Indonesia pada tahun 1994, dengan dibukanya IndoNet di Jakarta, sebagai Internet Service Provider (ISP) pertama di Indonesia. Salah satu pelopor penggunaan Internet sebagai media dakwah adalah seperti yang dilakukan oleh kelompok Jaringan Informasi Islam (JII). JII yang dibidani oleh jebolan Pusat Teknologi Tepat Guna (Pustena) Masjid Salman ITB tersebut sudah sejak sekitar tahun 1997-1998 bergulat dengan teknologi e-mail yang diaplikasikan ke dalam pesantren-pesantren, membentuk apa yang disebut dengan Jaringan Pondok Pesantren.

Kemudian pada sekitar tahun 1998-1999 mulai marak aneka mailing-list (milis) Indonesia bernuansa Islami semisal Isnet, Al Islam dan Padan Mbulan. Baru kemudian pada tahun 1999-2000 bermunculanlah situs-situs Islam di Indonesia, yang tidak sekedar situs-situs institusi Islam, tetapi berisi aneka informasi dan fasilitas yang memang dibutuhkan oleh umat Islam. Maka lengkaplah Internet menjadi salah satu media rujukan dan media dakwah Islam Indonesia.

Masuknya Internet dalam aspek kehidupan umat Islam mulai menggeser pemikiran-pemikiran lama. Menjadi santri kini tidak harus diidentikkan dengan sarung dan mengaji di langgar saja. Sekedar contoh, para santri Pesantren Darunnajah di Ulujami Jakarta Selatan ternyata telah akrab dengan e-mail karena di dalam pesantren tersebut ada sebuah warnet yang dipergunakan bergantian antara santri pria dan wanita. Ada pula pesantren Annida di Bekasi, yang memang telah benar-benar memberikan materi pendidikan e-mail dan Internet kepada para santri-santrinya.
Dengan bermodalkan sepuluh komputer yang terkoneksi ke Internet, maka setiap hari selalu diberikan materi-materi Internet secara bergiliran. Menggunakan Internet pun bisa dianggap sebagai suatu ibadah. Masjid At-Tin di komplek Taman Mini misalnya, di dalamnya terdapat sebuah warnet dengan 10 buah komputer. Administrasi warnet tersebut berada di bawah Bidang Dakwah dan Pendidikan Yayasan At-Tin, sebagai pengelola Masjid tersebut.

Rabu, 09 Juni 2010

Adakah Inhiraf Manhaji Pada Fikrah Nahdliyyah?

Syabab.Com – Di bulan harlah Nahdhatul Ulama ini banyak harapan dari umat kepada para ‘ulama terutama yang tergabung dalam wadah Nahdhatul Ulama. NU sebagai ormas Islam yang lahir sebagai wujud kebangkitan ulama ini benar-benar dapat membangkitkan umat dan Islam ini. [catatan redaksi]

Muqaddimah

Menarik mencermati Sabili No. 11 Th. XV 13 Desember 2007 dengan telaah utama Selisih Jalan NU-HTI Siapa Diuntungkan. Muncul pertanyaan, apakah klaim “selisih jalan” itu didasarkan pada cara pandang (pemikiran) yang berbeda, masalah komunikasi, atau terletak pada persoalan politik. Mambahas persoalan pertama tadi (masalah pemikiran) menjadi penting agar “selisih jalan” antara Nahdhiyin (sebutan untuk aktifis NU) dan Hizbiyin (sebutan untuk anggota HT) tidak terjadi di lapangan. Hampir melengkapi pertanyaan di atas, ada satu pertanyaan yang disampaikan seorang kolega kepada penulis, dan pertanyaan tersebut cukup untuk membuat kening penulis berkerut. Pertanyaan itu lebih kurang; “apakah antum seorang Nahdhiyin?” Dari pertanyaan itulah, penulis tertarik untuk menjawabnya dalam bentuk tulisan agar persoalan dan jawabannya menjadi jelas. Untuk menjawabnya, paling tidak ada satu persoalan yang harus dijawab terlebih dahulu; apakah yang disebut orang Nahdatul Ulama’ (NU) itu adalah dalam konteks genetik atau secara pemikiran (sebagaimana pemikiran yang membangun NU)? Ini menjadi penting untuk dijawab. Secara genetik, penulis adalah adalah keturunan NU, walaupun belum pernah mendeklarasikan sebagai kelompok Nahdhiyin. Ada juga orang yang secara genetik keturunan NU tapi secara metodologis menyimpang dari kerangka berpikir Nahdhiyah. Bahkan, ada yang secara pemikiran sama dengan kerangka berpikir Nahdhiyah, namun pada saat yang sama dimusuhi oleh sebagian kalangan yang mengaku dirinya orang NU. Jadi siapa sebetulnya yang Nahdhiyin dan siapa yang bukan? Jangan-jangan telah terjadi inhiraf manhaji (penyimpangan metodologis) dalam fikrah Nahdhiyah? Penyimpangan metodologis inilah yang dikhawatirkan penulis; semuanya demi menjaga keorisinilan pemikiran Nahdhiyah agar tidak menjadi kendaraan politik pihak tertentu yang hipokrit.

Definisi Kerangka Berfikir Nahdhatul Ulama’

Nahdhatul Ulama’ adalah jam’iyyah yang dibangun berdasarkan kerangka pemikiran Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja). Maka, untuk mendefinisikan kerangka berfikir NU, mau tidak mau, kita harus kembali kepada batasan Ahlussunnah wal jamaah, yang secara historis bisa diklasifikasikan menjadi dua: Pertama, Ahlussunnah wal jamaah sebagai thariqah diniyyah (tuntunan keagamaan), yaitu tatacara beragama sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi saw. dan para sahabat, sebelum dilembagakan dalam bentuk sistematika pembahasan yang khas, setelah munculnya berbagai mazhab Islam. Kedua, Ahlussunnah wal jamaah sebagai mazhab, yaitu tempat menimba atau mengambil pandangan, pemikiran dan hukum yang dirumuskan oleh para ulama’ mazhab, yang dilembagakan dalam suatu sistematika pembahasan yang khas.

Jika yang pertama, maka pengertian Ahlussunnah wal jamaah jauh lebih umum, karena dalam konteks ini, Ahlussunnah bukanlah mazhab, melainkan tatacara beragama yang diwariskan oleh Nabi saw. Ini sebagaimana yang dinyatakan dalam sebuah hadits:

«سَتَفْتَرِقُ هَذِهِ الأُمَّةُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَة قَالُوْا وَمَا هِيَ تلِْكَ الفِرْقَةُ قاَلَ مَا أَنَا عَلَيْهِ اَلْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ»

Umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka, kecuali satu. Mereka bertanya: Kelompok apakah itu? Beliau bersabda: Kelompok yang mengikuti apa yang aku dan sahabatku lakukan saat ini. (H.R. at-Thabrani) [1]

yang oleh Muhammad Syams al-Haq al-’Adhim Abadi Abu at-Thayyib, dalam kitabnya, ‘Aun al-Ma’bud, dinyatakan sebagai: at-thariqah al-lati radhiya biha as-salaf as-shalih, ai an-Nabiyu wa ashhabuhu li anfusihim (tuntunan yang telah diridhai oleh generasi Salaf Salih, yaitu Nabi dan para sahabat beliau untuk diri mereka).[2]

Namun, dalam konteks yang kedua, konotasi Ahlussunnah lebih spesifik pada mazhab tertentu, baik dalam masalah akidah, fikih maupun politik.[3]

Dalam riwayat al-Hafidz Ibn al-Jauzi dan al-Qadhi Abu Ya’la dalam kitab Tabaqat-nya, dan Burhanuddin Muflih dalam kitab al-Maqshad al-Arsyad-nya dari Muhammad bin Humaid al-Andarani dari Imam Ahmad, beliau berkata,

“Ciri orang Mukmin Ahlussunnah wal jamaah adalah siapa yang menyatakan kesaksian, bahwa tidak ada yang berhak disembah, melainkan Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Dia mengakui semua yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul. Hatinya meyakini apa yang dinyatakan oleh lisannya. Tiada keraguan dalam keimanannya. Dia tidak mengkafirkan siapapun dari Ahli Tauhid, karena suatu dosa. Semua perkara yang hilang darinya, selalu dia kembalikan kepada Allah, dan dia selalu menyerahkan urusannya kepada Allah. Dia tidak pernah menyatakan terpelihara dari dosa di sisi Allah. Dia meyakini, apa saja terjadi karena qadha’ dan qadar Allah, semuanya; baik dan buruknya sekaligus. Dia selalu mengharapkan kebaikan untuk umat Muhammad saw. dan takut terhadap keburukan mereka. Dia tidak mudah menjatuhkan vonis surga kepada salah seorang dari umat Muhammad karena suatu kebaikan, juga neraka karena suatu dosa yang telah dilakukannya, sampai Allahlah yang memutuskan untuk makhluk-Nya sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Dia mengakui hak orang Salaf, yang telah dipilih oleh Allah untuk menyertai Nabi-Nya. Dia mengutamakan Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman, serta mengetahui hak ‘Ali bin Abi Thalib, Thalhah, az-Zubair, Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’ad bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail atas sahabat-sahabat lain. Sembilan sahabat itu telah bersama-sama Nabi saw. di atas gunung Harra’. Nabi bersabda: Tinggallah di Harra’. Bagimu tak lain adalah Nabi, orang yang jujur, atau syahid, dimana Nabi saw. senantias bergaul dengan mereka, Dia (sifat Mukmin Ahlussunnah) mencintai semua sahabat Muhammad, baik yang yunior maupun senior. Dia menceritakan keagungan mereka, dan menahan diri dari perselisihan di antara mereka. Mengerjakan shalat Idul Fitri dan Adha, Khusuf, Jum’at dan berjamaah dengan semua pemimpin, baik yang taat maupun durjana, mengusap kedua sepatu ketika bepergian dan tidak, memendekkan shalat saat bepergian. Menyatakan, bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah yang Dia turunkan, dan bukannya makhluk. Imam merupakan ucapan dan perbuatan, yang bisa bertambah dan berkurang. Jihad terus berlanjut sejak Allah mengutus Muhammad saw. hingga sisa-sisa terakhir, dimana mereka akan memerangi Dajjal. Mereka tidak akan terancam oleh kedurjanaan orang yang durjana. Jual-beli halal hingga Hari Kiamat berdasarkan hukum Kitab dan Sunnah. Takbir terhadap jenazah (saat shalat) sebanyak empat kali. Mendoakan kebaikan untuk para imam (khalifah) kaum Muslim. Anda tidak melepaskan diri darinya dengan pedang Anda. Tidak ikut berperang dalam suasana fitnah. Tinggallah di rumah Anda. Mengimani siksa kubur, meyakini Munkar-Nakir, meyakini telaga, syafaat dan meyakini bahwa penghuni surga akan bisa menyaksikan tuhan mereka Tabaraka wa Ta’ala. Mengimani bahwa orang yang bertauhid akan bebas dari neraka, setelah mereka dosanya habis, sebagaimana yang dinyatakan dalam sejumlah hadits yang menceritakan hal ini dari Nabi saw. Kita mengimaninya, dan tidak perlu membuat contoh dan perumpamaan untuknya. Inilah yang telah disepakati oleh para ulama’ di seluruh penjuru dunia.[4]

(berakhirlah riwayat al-Andarani).[5]

Dari dua konteks Ahlussunnah di atas, kelihatannya konteks yang kedualah, yang dimaksudkan oleh NU. Karena itu, NU mendefinisikan paham keagamaannya dengan kerangka mazhab sebagai berikut:

a- Akidah: mengikuti paham yang dipelopori oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 324 H/935 M) dan Abu Manshur al-Maturidi (w. 333 H/944 M).

b- Fikih: mengikuti salah satu dari keempat mazhab, yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.

c- Tasawuf: mengikuti al-Junaid al-Baghdadi (w. 297 H) dan Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H/1111 M).

Dengan demikian, kerangka berfikir Nahdhiyyah merupakan kerangka berfikir Ahlussunnah, yang senantiasa berpegang teguh pada tuntunan Rasulullah saw. dan para sahabatnya, yang secara teknis merujuk pada mazhab-mazhab di atas.

Metode Berfikir NU dalam Merespon Permasalahan dan Isu Pemikiran Keagamaan

Berfikir itu sendiri bisa didefinisikan dengan: al-hukm ‘ala al-waqi’ min wijhati an-nadhr al-mu’ayyan (menghukumi fakta berdasarkan sudut pandang tertentu).[6] Karena kerangka berfikir Nahdhiyyah merupakan kerangka berfikir Ahlussunnah, maka sudut pandang yang dijadikan sebagai pedoman untuk menghukumi fakta tersebut tak lain adalah sudut pandang Ahlussunnah.

Adapun fakta yang hendak dihukumi bisa diklasifikasikan menjadi dua: fakta yang berkaitan dengan akidah, dan fakta yang berkaitan dengan fikih (syariah). Ini karena yang pertama merupakan masalah al-ashliyyah al-i’tiqadiyyah (pokok dan berhubungan dengan keyakinan), sedangkan yang kedua merupakan masalah al-far’iyyah al-’amaliyyah (cabang dan berhubungan dengan perbuatan fisik).[7]

Sebagai contoh, paham Sekularisme, yaitu paham yang menyatakan pemisahan agama dari kehidupan, baik dalam kehidupan pribadi, masyarakat maupun negara adalah paham yang jelas bertentangan dengan ajaran Ahlussunnah. Ini bisa kita rujuk, misalnya, dalam kitab Abu Hamid al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I’tiqad yang menyatakan:

«الدِّيْنُ أُسٌّ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ، مَالاَ أُسَّ لَهُ فَمْهُدُوْمٌ، وَماَلاَ حاَرِسَ لَهُ فَضَائِعُ»

Agama itu bagaikan pondasi, sementara kekuasaan (imamah/khilafah) itu merupakan penjaga. Sesuatu (bangunan) yang tidak ada pondasinya, pastilah roboh, sementara sesuatu (bangunan dan pondasi) yang tidak ada penjaganya, pasti akan hilang.[8]

Berdasarkan kerangka berfikir tersebut dapat disimpulkan, bahwa agama dan negara tidak bisa dipisahkan. Karena masing-masing saling membutuhkan satu sama lain. Agama membutuhkan negara untuk menjadi penjaga, sehingga ajaran dan hukumnya bisa dipertahankan, sementara negara membutuhkan agama untuk menjadi pondasi yang akan memperkokoh perjalanannya. Dalam konteks inilah, hifdh al-din wa ad-daulah (menjaga agama dan negara) benar-benar merupakan keniscayaan. Dengan demikian, paham yang memisahkan agama dari kehidupan, termasuk dalam kehidupan bernegara nyata bertentangan dengan kerangka berfikir Ahlussunnah wal jamaah.

Contoh lain adalah isu imamah dan khilafah. Dalam kerangka berfikir Ahlussunnah, sekalipun masalah imamah bukan menjadi bagian dari masalah akidah, tetapi selalu dibahas dalam kitab-kitab Ushuluddin. Tujuanya, menurut ‘Adhuddin al-Iji, agar bisa mencegah terjadinya khurafat (penyelewengan) yang dilakukan oleh Ahli Bid’ah dan Ahwa’.[9] Maka, semua ulama’ Ahlussunnah menyatakan, bahwa hukum mengangkat imam/khalifah adalah wajib bagi kaum Muslim. Al-Baghdadi, dalam kitabnya, Ushul ad-Din, menyatakan:

«لاَ بُدَّ لِلْمُسْلِمِيْنَ مِنْ إِمَامٍ يَقُوْمُ بِمَصَالِحِهِمْ مِنْ تَنْفِيْذِ أَحْكَامِهِمْ وَإِقَامَةِ حُدُوْدِهِمْ وَتَجْهِيْزِ جُيُوْشِهِمْ وَأَخْذِ صَدَقَاتِهِمْ وَصَرْفِهَا إِلَى مُسْتَحِقِّيْهِمْ لأَِنَّهُ لَوْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ إِمَامٌ فَإِنَّهُ يُؤَدِّيْ إِلَى إِظْهَارِ الْفَسَادِ فِي الأَرْضِ»

Kaum Muslim harus mempunyai seorang imam (khalifah) yang menjalankan urusan mereka, dengan menerapkan hukum-hukum mereka, dan menegakkan sanksi hukum bagi mereka. Menyiapkan pasukan mereka, mengambil zakat mereka, dan mendistribusikannya kepada mereka yang berhak. Sebab, kalau mereka tidak mempunyai seorang imam (khalifah), pasti akan menyebabkan terjadinya kerusakan di muka bumi.[10]

Dengan demikian, wajibnya kaum Muslim mempunyai imam/khalifah bukanlah masalah ijtihad,[11] meski di dalam rinciannya memungkinkan terjadinya ijtihad. Seperti pengangkatan imam/khalifah melalui penunjukan (wilayah al-ahd), waris (waratsah), kudeta (al-qahr wa al-ghalabah) serta pemilihan dengan suka rela (ar-ridha wa al-iktiyar).[12]

Adapun dalam bidang fikih, misalnya masalah globalisasi, sikap ahlussunnah sebetulnya sudah jelas. Globalisasi tujuannya adalah agar Dunia Ketiga menyambut gembira kedatangan modal dan tenaga kerja asing, mengambil rekomendasi para pemilik modal dan tenaga kerja itu untuk mengoreksi berbagai undang-undang di negaranya, serta melakukan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), agar Amerika dapat dengan mudah membelinya. Mereka mengatakan bahwa tak ada alternatif lain di luar pilihan-pilihan tersebut, jika kita memang ingin menyusul rombongan dunia seluruhnya untuk meng-globalisasikan modal dan tenaga kerja. Kalau tak ikut rombongan, kita akan tetap terbelakang, kata mereka.

Karena itu, bukan hal yang aneh bila kita membandingkan propaganda globalisasi ini dengan serangan Kristenisasi pada abad lampau, maka serangan kali ini lebih berbahaya daripada serangan sebelumnya. Sebab serangan kali ini sekalipun tidak memakai kedok agama, namun tak dapat dipungkiri, sebenarnya lebih mengerikan.

Karena itulah, maka hadits dharar yang dinyatakan oleh Nabi saw.:

«لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ»

Tidak boleh ada bahaya, dan tidak boleh membahayakan (orang lain) (H.R. al-Hakim)

bisa diterapkan dalam konteks bahaya globalisasi. Ini dipertegas dengan penjelasan as-Syaukani dalam Nail al-Authar, yang menyatakan:

«هَذَا فِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِ الضَّرَارِ عَلَى أَيِّ صِفَةٍ كَانَ، مِنْ غَيْرِ فَرْقٍ بَيْنَ الجَارِّ وَغَيْرِهِ فَلاَ يَجُوْزُ فِي صُوْرَةٍ مِنَ الصُّوَرِ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ يَخُصُّ بِهِ هَذَا الْعُمُوْمُ فَعَلَيْكَ بِمُطَالَبَةِ مَنْ لِصَاحِبِ المُضَارَةِ فِي بَعْضِ الصُّوَرِ بِالدَّلِيْلِ فَإِنْ جَاءَ بِهِ قَبِلْتَهُ وَإِلاَّ ضَرَبْتَ بِهَذَا الْحَدِيْثِ وَجْهَهُ فَإِنَّهُ قَاِعدَةٌُ مِنْ قَوَاعِدِ الدِّيْنِ تَشْهَدُ لَهُ كُلِّيَاتٌ وَجُزْئِيَّاتٌ»

Hadits ini berisi dalil yang menyatakan keharaman dharar (bahaya dan tindakan membahayakan orang lain), dalam konteks apapun. Tanpa ada perbedaan, antara pelaku kezaliman maupun yang lain. Maka, apapun bentuknya tetap tidak boleh, kecuali jika ada dalil yang mengecualikannya dari keumuman ini. Karenanya, Anda harus meminta orang yang melakukan tindakan berbahaya itu untuk menunjukkan dalil dalam beberapa bentuk tindakannya yang membahayakan; jika ada, maka Anda bisa menerimanya, dan jika tidak, Anda harus menggunakan hadits ini seperti apa adanya. Karena hadits ini merupakan salah satu kaidah agama, yang bisa menjadi argumentasi bagi perkara yang global maupun rinci.[13]

Ada aspek lain yang selalu dikaitkan dengan globalisasi, yaitu terjadinya revolusi di bidang informasi dan komunikasi, yang menyebabkan dunia seperti tanpa batas, serta pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Namun, aspek ini berbeda sama sekali dengan aspek yang pertama, yaitu globalisasinya itu sendiri. Sebab, aspek yang kedua ini terkait dengan pemanfaatan teknologi, yang statusnya merupakan madaniyah (produk material), dan hukumnya mubah. Seperti pemanfaatan internet, satelit, parabola dan sejenisnya.


Meski demikian, bisa saja sesuatu yang asalnya mubah itu kemudian berubah menjadi haram, karena aspek dharar. Sekalipun keharamannya dibatasi pada perkara yang berdampak pada dharar saja, dan tidak haram secara mutlak. Ini diambil dari hadits Nabi:

«وَلَمَّا نَزَلَ رَسُوْلُ اللهِ e بِالْحَجَرِ فِيْ غَزْوَةِ تَبُوْك اسْتَقَي النَّاسُ مِنْ بِئْرِهَا فَلَمَّا رَاحُوْا قَالَ: لاَ تَشْرَبُوْا مِنْ مَائِهَا شَيْئًا وَلاَ تَتَوَضَّأُوْا مِنْهُ لِلصَّلاَةِ»

Tatkala Rasulullah saw. singgah di sebuah batu ketika Perang Tabuk, orang-orang menimba air dari sumurnya, ketika mereka telah beristirahat, Nabi bersabda: Jangan kalian minum airnya sedikitpun, dan jangan berwudhu dengan airnya.[14]

Hukum asal air, secara mutlak adalah mubah, dan boleh digunakan baik diminum maupun dipakai berwudhu. Tapi, dalam kasus ini, Nabi melarang air tersebut digunakan untuk minum dan wudhu, meski secara umum larangan tersebut tidak mencakup semua air, melainkan khusus untuk air di sumur tersebut. Dari sinilah, kemudian ditarik kaidah ushul:

«كُلُّ فَرْدٍ مِنْ أَفْرَادِ المُبَاحِ، إِذاَ كَانَ ضَارًّا أَوْ مُؤَدِّيًا إِلَى ضَرَرٍ حَرَّمَ ذَلِكَ الْفَرْدَ، وَظَلَّ الأَمْرُ مُبَاحًا»

Semua perkara yang asalnya mubah, ketika telah membahayakan, atau menyebabkan bahaya, maka perkara itu menjadi haram, sementara yang lain secara umum tetap mubah.[15]

Dengan demikian, kalaupun teknologi tersebut hukum asalnya mubah, maka ketika ada faktor dharar pada bagian tertentu, baik langsung maupun dampaknya, maka yang diharamkan adalah bagian yang membahayakan itu. Sementara yang lain tidak.

Adakah Inhiraf Manhaji?

Dengan kerangka berpikir seperti di atas itu, maka fikrah Nahdhiyyah akan tetap terjaga orisinalitasnya, dan terhindar dari bahaya inhiraf manhaji (penyimpangan metodologis) dari manhaj Ahlussunnah wal jamaah. Kalaupun pada kenyataan di lapangan terjadi kerancuan pemikiran NU, itu bukan semata-mata penyimpangan fikrah Nahdhiyah dari manhaj Ahlussunnah wal jamaah, malainkan penyimpangan (inhiraf manhaji) sekelompok orang NU dari fikrah Nahdhiyah atau lebih jauh dari manhaj Ahlussunnah wal jamaah.

Berdasarkan paparan di atas, maka ciri-ciri fikrah Nahdhiyyah bisa dirumuskan sebagai fikrah Ahlussunnah, baik dalam masalah akidah maupun fikih (syariah). Maka, pemikiran apapun yang bukan fikrah Ahlussunnah, dan tidak dibangun berdasarkan manhaj Ahlussunnah, maka tidak bisa disebut sebagai fikrah Nahdhiyyah, sekalipun dinyatakan oleh orang-orang NU sendiri. Sebaliknya, siapapun yang mengemban fikrah Ahlussunnah, atau pemikiran yang dibangun berdasarkan manhaj Ahlussunnah, maka secara idiologis telah mengemban fikrah Nahdhiyyah, sekalipun secara biologis-genetik bukan orang NU.

Khatimah

Dalam sebuah wawancara dengan Sabili, Habib Abdurrahman Assegaf, Sekjen Dewan Imamah Nusantara (DIN), ketika ditanya terkait dengan Forum Bahtsul Masail NU wilayah Jawa Timur yang mengatakan sistem khilafah tidak ada dalam ajaran Islam, mengatakan: “itu mereka NU yang mana? Mereka mengklaim ulama’ NU yang mana? Kita semua yang ada di Dewan Imamah Nusantara ini ulama’ NU. Banyak kan orang-orang yang menyusup di NU, tapi mereka agen Amerika. Pemikirannya sekular, liberal, dan pluralis.”[16] Dengan memahami kerangka penjelasan sebagaimana yang telah diulas sebelumnya, sekarang persoalannya menjadi jelas tentang apa sebetulnya yang terjadi dan siapa sebetulnya yang telah menyimpang dari fikrah Nahdhiyyah yang ber-manhaj Ahlussunnah. Dengan begitu, tidak mesti ada kasus salah paham –bahkan fitnah—seperti halnya tulisan yang dimuat di situs PP Nurul Huda tentang Hizbut Tahrir.[17] Atau yang senada dengan itu, misalnya kajian yang dilakukan oleh Abdullah al-Harari dan Firqah al-Ahbasy. Dalam booklet Al-Gharrah Al-Imaniyah Fi Mafasid At-Tahririyyah, Abdullah al-Harari telah melemparkan fitnah terhadap Hizbut Tahrir secara serampangan bahkan dengan mengabaikan kaedah-kaedah ilmiah.[18] Akhirnya, penulis hanya bisa berharap semoga dengan kerangka pemikiran yang utuh, para ulama’ tidak terjerat dalam kategori jari’an fi al-fatawa wa i’thail hukmi (gegabah dalam berfatwa dan penetapan hukum). Semuanya itu demi bangkitnya kembali para ulama’ dan juga umat sebagaimana yang diamanatkan dari kata “an-Nahdhah” dalam frasa Nahdhatul Ulama’. Wallahu a’lam.


[1] Lihat Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abd al-Wahid bin Ahmad al-Hanbali al-Maqdisi, al-Ahadits al-Mukhtarah, ed. ‘Abd al-Malik bin ‘Abdullah, Maktabah an-Nahdhah al-Haditsah, Makkah al-Mukarramah, cet, I, 1410, juz VII, hal. 278.

[2] Muhammad Syams al-Haq al-’Adhim Abadi Abu at-Thayyib, ‘Aun al-Ma’bud, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, cet, II, 1415, juz XII, hal. 240.

[3] Lihat, al-Imam Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah: as-Siyasiyyah, wa al-I’tiqadiyyah wa al-Fiqhiyyah, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., hal. .

[4] Teks lengkapnya berbunyi:

روى الحافظ ابن الجوزي والقاضي أبو يعلى في طبقاته وبرهان الدين مفلح في المقصد الأرشد عن محمد بن حميد الأندراني عن الإمام أحمد أنه قال: صفة المؤمن من أهل السنة والجماعة من شهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأن محمدا عبده ورسوله وأقر بجميع ما أتت به الأنبياء والرسل وعقد قلبه على ما أظهر لسانه ولم يشك في إيمانه ولم يكفر أحدا من أهل التوحيد بذنب وأرجأ ما غاب عنه من الأمور إلى الله عز وجل وفوض أمره إلى الله ولم يقطع بالذنوب العصمة من عند الله وعلم أن كل شيء بقضاء الله وقدره والخير والشر جميعا ورجا لمحسن أمة محمد صلى الله عليه وسلم وتخوف على مسيئتهم ولم ينزل أحدا من أمة محمد صلى الله عليه وسلم الجنة بالإحسان ولا النار بذنب اكتسبه حتى يكون الله الذي ينزل خلقه كيف يشاء وعرف حق السلف الذين اختارهم الله لصحبه نبيه وقدم أبا بكر وعمر وعثمان وعرف حق علي بن أبي طالب وطلحة والزبير وعبد الرحمن بن وعوف وسعد بن أبي وقاص وسعد بن زيد بن عمرو ابن نفيل على سائر الصحابة فإن هؤلاء التسعة الذين كانو مع النبي صلى الله عليه وسلم على جبل حراء فقال النبي صلى الله عليه وسلم اسكن حراء فما عليك إلا نبي أو صديق أو شهيد والنبي صلى الله عليه وسلم عاشرهم وترحم على جميع أصحاب محمد صغيرهم وكبيرهم وحدث بفضائلهم وأمسك عما شجر بينهم وصلاة العيدين والخسوف والجمعة والجماعات مع كل أمير بر أو فاجر والمسح على الخفين في السفر والحضر والقصر في السفر والقرآن كلام الله وتنزيله وليس بمخلوق والإيمان قول وعمل يزيد وينقص والجهاد ماض منذ بعث الله محمدا صلى الله عليه وسلم إلى آخر عصابة يقاتلون الدجال لا يضرهم جور جائر والشراء والبيع حلال إلى يوم القيامة على حكم الكتاب والنسة والتكبير على الجنائز أربع والدعاء لأئمة المسلمين بالصلاح ولا تخرج عليهم بسيفك ولا تقاتل في فتنة والزم بيتك والإيمان بعذاب القبر والإيمان بمنكر ونكير والإيمان بالحوض والشفاعة والإيمان بأن أهل الجنة يرون ربهم تبارك وتعالى والإيمان بأن الموحدين يخرجون من النار بعدما امتحشوا كما جاءت الأحاديث في هذه الأشياء عن النبي صلى الله عليه وسلم نؤمن بتصديقها ولا نضرب لها الأمثال هذا ما اجتمع عليه العلماء في جميع الآفاق (انتهت رواية الأندراني).

[5] Ahmad bin Muhammad bin Hanbal as-Syaibani, al-’Aqidah Riwayat Abi Bakar al-Khalal, ed. ‘Abd al-’Aziz ‘Izz ad-Din as-Sirwani, Dar Qutaibah, Beirut, cet. I, 1408, hal. 67.

[6] As-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, at-Tafkir, Min al-Kutub al-Lati Ashdaraha Hizbut Tahrir, Beirut, cet. I, 1977, hal. .

[7] Lihat, at-Taftazani, Syarh al-’Aqa’id an-Nasafiyyah, al-Maktabah al-Azhariyyah, Kaero, t,t, hal. .

[8] Hujjat al-Islam, Abu Hamid al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, Maktabah al-Hilal, t.t., Beirut, hal. .

[9] ‘Adhuddin al-Iji, Kitab al-Mawaqif, ed. ‘Abdurrahman ‘Umairah, Dar al-Jil, Beirut, cet. I, 1997, juz I, hal. 17.

[10] al-Qahir al-Baghdadi, Ushul ad-Din, ed. ‘Umar Wafiq ad-Da’uq, Dar al-Basya’ir al-Islamiyyah, Beirut, cet. I, 1998, hal. 269-270. Lihat juga penjelasan Ibn Hazm dalam al-Fashl fi al-Milal wa an-Nihal, juz IV, hal. 72:

اتفق جميع أهل السنة وجميع المرجئة وجميع الشيعة وجميع الخوارج على وجوب الإمامة وأن الامة واجب عليها الإنقياد لإمام عادل يقيم فيهم أحكام الله ويسوسهم بأحكام الشريعة التي آتى بها رسول الله e حاشا النجدات من الخوارج فإنهم قالوا لا يلزم الناس فرض الإمامة وإنما عليهم أن يشاطوا الحق بينهم وهذه فرقة ما نرى بقي منهم أحد وهم المنسوبون إلى نجدة بن عمير الحنفي القائم باليمامة قال أبو محمد وقول هذه الفرقة ساقط يكفي من الرد عليه وإبطاله إجماع كل من ذكرنا على بطلانه والقرآن والسنة قد ورد بإيجاب الإمام من ذلك قول الله تعالى: ﴿أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم﴾ مع أحاديث كثيرة صحاح في طاعة الأئمة وإيجاب الإمامة.

[11] Lihat penjelasan Zain ad-Din bin ‘Abd al-’Aziz, dalam kitabnya, Fath al-Mu’in, juz IV, hal. 214, yang menyatakan:

لا يجوز الإجتهاد مع النص (انتهى).

[12] Penunjukan (wilayah al-ahd) dan waris (waratsah) dianggap sebagai metode yang sah oleh al-Mawardi, an-Nawawi, Ibn Hazm, al-Qalqasyandi, Ibn Qutaibah ad-Dainuri, ar-Rafi’i dan lain-lain. Sedangkan kudeta dianggap sebagai cara yang sah bisa dilihat dalam karya-karya al-Farra’, dan al-Qalqasyandi. Adapun pemilihan dengan suka rela bisa dilihat dalam al-Ahkam as-Sulthaniyyah karya al-Mawardi. Penjelasan yang ringkas namun bermakna terkait dengan topik ini bisa disimak dalam Mahmud al-Khalidi, Al-Bai’at fil Fikri as-Siyaasi al-Islami, Maktabah ar-Risalah al-Haditsah, Yordania.

[13] Muhammad bin ‘Ali as-Syaukani, Nail al-Authar, Dar al-Jil, Beirut, 1973, juz V, hal. 387.

[14] Abu ‘Ubaid, Mu’jam Ma Ista’jama, ed. Musthafa as-Saqa, ‘Alam al-Kutub, Beirut, cet. III, 1403, hal. 426.

[15] As-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah al-Juz’ at-Tsalits, Dar al-Ummah, Beirut, cet. III, 2005, hal. 457.

[16] Lihat Sabili No. 11 Th. XV 13 Desember 2007/3 Dzulhijjah 1428, hal 36.

[17] Lihat Musthafa Ali Murtadlo, Penjelasan Bagi yang Salah Paham Terhadap Hizbut Tahrir, Makalah, 2007.

[18] Melihat metode kajiannya yang sama, penulis menduga bahwa tulisan yang dimuat di dalam situs Nurul Huda itu terinspirasi dari tulisannya Abdullah al-Hariri.